Rabu, 27 Maret 2013

Tuan Angka 83

Cerpen. Happy reading :)

 Sialan! Apa yang terjadi?!

            Tanpa menghiraukan rasa gatal yang menggebu ketika semak-semak itu menggesek tanganku, aku terus berlari. Dengan nafas tersengal, aku menyeruak rumput-rumput tinggi di hadapanku, berusaha mencari jalan keluar. Aku menoleh ke belakang dan berharap makhluk itu tidak menangkapku! Uh, rimbun semak ini seakan memerangkapku. Peluh keringat membanjiri wajahku, tubuhku terasa panas seiring nafas yang keluar masuk paru-paruku dengan cepat. Aku terus melaju.

            Dengung makhluk itu terasa semakin dekat. Aku merasa ia lebih cepat dariku. Aku terus berlari sampai-sampai seluruh tubuhku ikut terbang. Tanpa kusangka, ketika suara itu sudah sampai ke jarak yang paling dekat, aku hampir merasa ia berada di belakangku, dengan hembusan nafasnya yang panas mengejarku, aku tiba-tiba terperosok.

            “AAH! AMPUN!” aku berteriak.

            Makhluk itu berteriak lebih keras, “APA KAMU AKAN BERHENTI?!”

            Tubuhku terguling-guling di antara semak yang kasar dan tanah yang lembab. Aku merasakan kerasnya batu-batu disitu ketika tubuhku jatuh menghantamnya, atau sakitnya ranting-ranting itu menggores seluruh lenganku. Setelah beberapa menit yang terasa lama, aku tercebur ke sebuah kolam di sana. Dalam hati aku mendesah lega. Oh syukurlah! Air ini pasti akan memulihkan seluruh rasa sakit dan pegal yang kurasakan, dan melenyapkan rasa panas yang mengaliri dahiku.

            Dengan mata terpejam, aku berusaha mencipak air. Tapi, aku menggerakkan tanganku dengan susah payah. Ini bukan kolam biasa! Aku merasakannya ketika diriku terasa jatuh makin dalam di antara cairan yang kental ini. Tanganku, kakiku, tubuhku, semuanya terbalut cairan ini. Kental dan lengket. Dadaku terasa sakit, karena cairan ini memberikan tekanan yang besar ke segala arah. Dengan menahan nafasku yang tersisa, dan akal sehat yang masih berjalan, aku berusaha menggoyang-goyangkan tangan dan kakiku ke segala arah. Mencipak, mendayung. Kentalnya cairan itu di antara jariku membuatku bergidik dalam hati. Apa ini? Dengan usaha keras, aku sampai di permukaan, masih dengan menggoyang-goyangkan kakiku untuk membuatku stabil di atas. Aku melihat sekeliling.

            Coklat?! Apa ini? Kenapa ada cairan coklat lezat memenuhi kolam tempat asing ini? Aku menatap bayanganku yang jelek di permukaan genangan coklat tersebut. Hah? Apa maksudnya ini? Apa aku jatuh ke kolam dewa? Walaupun ragu, aku mendekatkan telunjuk ke lidahku dan menjilatnya sedikit. Benar! Ini coklat. Aku menjilatnya lebih banyak lagi. Lezat! Sejenak hatiku tertawa, namun hatiku seakan berhenti berdegup ketika coklat itu bergerak. Bergerak melingkar dan mulai menarikku ke dalam.

            Sial! Yang ini benar-benar di luar dugaanku! Aku menggoyangkan telapak kakiku, menyeret tubuhku yang terasa sakit ini menjauh dari kemungkinan terburuk. Sambil menyeruak tubuhku di dalam coklat yang berat, mendorong dengan kuat, aku sampai di bibir kolam. Aku menopang tubuhku dengan dua telapak tanganku yang sekarang terasa licin di atas tanah. Aku menoleh ke belakang, dan mendapati coklat itu menggelegak dan berbunyi plop pelan karena menelan udara kosong. Coklat yang jahat.

***

            Entah apa nama daun ini, aku sudah menghabiskannya berlembar-lembar. Aku membuang helai terakhir, yang sekarang berlumuran coklat. Daerah ini tetap terasa dingin dan gelap, namun bukan malam hari. Kabutnya yang membuat embun terus menyelimuti aku yang kebingungan mencari jalan pulang.  Aku memeluk lenganku yang lengket sambil melihat ke sekitar. Oh tidak, aku lapar, dan makhluk itu mungkin masih mencariku. Ia bahkan menuntut satu-satunya benda yang mungkin dapat menjadi pemuas rasa laparku sekarang. Aku  menelengkan kepalaku ke segala arah ketika aku mencium bau sesuatu. Duh, apa itu? Baunya… lezat. Benar-benar membuatku menginginkannya!

            Bau sesuatu yang digoreng. Dimasak. Matang.

            Ayam goreng?  Ayam goreng!

            Aku mengendus bau itu lagi, dan pandangan curigaku jatuh ke sebuah pohon besar yang akarnya seperti jari-jari raksasa. Tanganku yang luka-luka dan kotor berusaha memanjati akar-akarnya yang tampak sangat besar, menuju sebuah lubang besar di perut pohon itu. Aku kembali terengah ketika melakukannya. Akhirnya, dengan segenap usaha, aku meraih bibir lubang pohon itu sambil bertumpu padanya, dan mataku bertemu dengan mata.. yang tidak asing.

            Mata makhluk itu!!!

            “Kamu lapar, sayang?” tanyanya sambil menyeringai. Tangannya yang berbentuk jarum panah menggengagam sebuah spatula. Ia menggoreng… Apa itu? Brokoli?

            “Ya, aku menggorengnya dengan balutan cinta dan hidup sehat!!” teriaknya mengerikan.

            Tanpa aba-aba aku menjerit panjang, membuat beberapa burung berbentuk aneh melolong. Ya. Mereka melolong dan terbang berhamburan. Aku berbalik dan hendak lari, namun ketika aku melihat sulur-sulur akar yang panjang dan besar-besar itu, aku menoleh lagi ke dalam lubang. Oh tidak, ia membawa masakannya, Debby! Kamu harus lompat dan meluncur sekarang!

            Aku melakukan suatu hal ternekat dalam hidupku. Tanpa berpikir! Aku melompat di atas sulur akar dan meluncur di atasnya dengan alas kaki yang kujaga stabil. Makhluk itu mengerang ketika melihatku lolos dan mulai berlari menerobos semak lain. Kakiku yang terasa panas dan pegal kupaksakan berlari. Aku harus menjauh darinya! Aku pun berlari ke depan sejauh beberapa mil sampai makhluk itu tak terlihat lagi.

            Perutku masih lapar dan aku butuh asupan energi. Tanpa sadar, aku terkulai di kaki pohon dengan seluruh tubuhku terasa sakit di sana sini. Sambil mengernyit kesakitan, aku memaksakan diriku untuk duduk tegak dan bersandar pada pohon. Aku diam. Aku memejamkan mata dan menghela nafas.

            Pluk! Pluk!

            Aku membuka sedikit dari celah mataku dan mendapati sesuatu jatuh dari atas pohon, yang kemudian mengenai hidungku. Walaupun aku tak tahu benda apa itu, aku mengendusnya lalu menjilatnya. Hmm… seperti bau.. KRIM KUE! Aku menjilat selurunya sampai hidungku licin. Hmm.. Blackforest! Aku bangkit dan mengibas rokku yang kecokelatan dan berat. Meskipun badanku rasanya remuk tulangnya dan tegang ototnya, aku menunduk dan mulai mencari benda yang terjatuh itu. Ah! Itu dia, yang dibalut dalam sehelai aluminium foil. Aku membukanya , lalu mencicipinya. Alamak! Ketika lidahku menyentuh krim kuenya yang manis dan lezat, mendadak aku serasa terbakar. Ketika aku mengunyah potongan-potongan kuenya yang legit, mataku sampai merem-melek.  Lezatnya! Rasanya lama sekali aku sudah tak merasakannya. Dengan wajah bahagia, aku mendongakkan kepalaku.

            Ya ampun, ratusan blackforest dalam aluminium foil tergantung lezat dan siap dipetik!

            Dengan  mata berbinar, aku maju dan menumpukan kakiku pada sebonggol kayu yang tumbuh di pinggangnya.  Aku benar-benar dibutakan dan ditulikan karena lezatnya makanan itu yang secara ajaib tergantung begitu saja di pohon.  Ya, dibutakan, akan kedatangan makhluk itu di depan mataku.Ya, ditulikan, akan derap kakinya yang mengejarku, dan geram suaranya yang rendah hendak menerkamku. Dia datang!!!

            Aku melompat dari bonggol kayu dan mulai menyalakan mesin tubuhku untuk mulai bekerja mengirimkan data yang spontan. Ya, satu perintah kecil dari si otak. Lari!

            Aluminium foil yang bergantungan manis di pohon itu mulai bergetar hebat dan menggantung di ujung tangkainya. Tak kusangka, aku melihatnya robek sendiri dan meninggalkan celah menganga. Dari dalam celah itu, secara serentak seluruh bola blackforest itu mengalirkan cairan kekuningan yang kental dan berminyak, serta sepotong benda menggumpal yang berwarna putih dan berselimutkan minyak. Sambil menahan keinginan untuk muntah, aku terus berlari dengan nafas yang terasa menusuk di dada.

***

            Bayangan makhluk itu yang membawa angka 83 di tubuhnya terus menghantuiku. Selalu saja ketika aku memejamkan mataku untuk mengistirahatkannya sejenak di hutan mengerikan itu, ia selalu saja hadir dalam bayangku dan membuatku terjaga. Sambil mengipas luka-lukaku yang mulai mengering, aku menghela nafasku. Makhluk itu pasti akan terus mengejarku, berusaha menangkapku dan mencincangku jika aku sampai dekat-dekat pohon blackforest itu. Aku membayangkannya membawa pisau daging sambil mengejarku yang berlari pontang-panting dengan mulut berlumuran krim kue dan tangan yang menadah masih lapar. Uh, sial! Sekarang aku masih lapar, apa yang harus kumakan?

            Aku mulai membayangkan semua makanan lezat yang kuidamkan. Hmm… Betapa menggodanya aroma coklat tadi yang menguar di hidungku… Oh tidak tidak. Ia hendak membunuhku tadi! Ia hampir menelanku dan meremasku sampai ke tulang dalam tekanan ombaknya yang kuat dan mematikan. Aku menggelengkan kepalaku dan mulai memikirkan yang lain. Oh, ayam goreng! Hmm.. rasanya yang lezat, crispy, enak, gurih… Wow! Oh! Tunggu! Itu bukan ayam goreng yang baik, ia digoreng oleh makhluk gila itu, ia tidak mungkin baik. Pasti tersembunyi kejahatan di dalamnya. Lihat, bahkan tadi dia tiba-tiba berubah menjadi brokoli. Aku menggeleng keras dengan mata terpejam dan mengatupkan bibirku.

            Karena lapar, aku membayangkan diriku makan blackforest. Hmm.. kue coklat lezat yang berlumuran krim yang manis gula dan manis, manis, manis… Enak! Eh… Ingatanku kembali berputar ketika lelehan lemak yang entah darimana itu mengalir keluar dari aluminium foil  tersebut. Ya, lemak yang berlendir dan menggumpal…

            Tanpa bisa kutahan, tiba-tiba seluruh isi perutku naik dan berlarian merebut jalan keluar dari tenggorokan. Aku muntah. Seluruh isi perutku berhamburan di tanah dan kuseka bibirku dengan lenganku. Apa itu? Sebuah benda termangu di hadapanku di antara cairan perutku. Aku mengambilnya dan membaca kata-kata yang tertera di atasnya.

            “Maling berwajah tampan sama seperti makanan. Membuatmu hanyut dan kau tak sadar sudah terjerat di dalamnya.”

            Aku memikirkan kata-kata yang super aneh itu, dan mulai mencoba menebak artinya. Maling berwajah tampan? Aku tersenyum kecil ketika membacanya. Bibirku yang kering terasa kaku. Makanan? Apa ini? Ia menghina makanan sebagai maling? Maling… berwajah tampan?

            Debam langkah yang berat terasa menggebu di belakangku. Lama-lama menjadi derap kaki yang berlari makin dekat ke belakangku. Nafasku tiba-tiba saja terasa makin cepat dan jantungku mulai berdetak di luar kendali. Otakku dengan jenius menyuruhku menoleh ke belakang dalam keterkejutanku…

            “BELUM MENGERTI?!” ia mengayunkan pemukulnya yang berat dan terbuat dari batu. Aku melihat wajahnya dari dekat. Hei, kelihatannya ia tidak begitu jahat. Dengan badannya yang setinggi dua meter, dan angka 83 tertera di dadanya, ditambah seringai menyeramkan yang menghiasi raut wajahnya, ia tampak jahat. “ ARTINYA ADALAH CINTAI HIDUP SEHAT!”

            Kepalaku di hantam oleh pemukulnya!

            Mataku langsung terbuka dan nafasku tetap tersengal. Sambil terengah-engah, aku menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku dan menyeka keringat di seluruh wajah dan leherku. Kaosku terasa lengket oleh keringat di tubuhku yang gempal oleh lemak. Obesitas. Aku mengalihkan pandangan takjub dari tubuhku sendiri pada pintu yang engselnya mulai bergerak. Apa? Aku kira aku sekurus yang ada di kejadian tadi. Dan siapa itu yang hendak memasuki ruangan kecil dan pengap ini?

            “Halo, Debby! Nah, ini ibu bawakan makanan untuk kamu!” Makanan?  “Ini ada ayam goreng, pizza, ampal jagung, ikan bakar, sama yang terakhir, kesukaan kamu, kue blackforest!”

            Aku menatap makanan yang disodorkan ibu di atas nampan dengan wajah terbengong-bengong. Ibu menatapku heran. Makanan itu mematung di udara.

            “Lho, Debby? Ayo ambil, tadi kamu yang minta, nak.” ujar ibu heran.

            Aku menggosok leherku lagi dengan pandangan linglung. Mataku berputar-putar mengingat semua kejadian mengerikan tadi. Sambil menelan ludah, aku bicara langsung pada mata ibu.

            “Untuk ibu saja.” ujarku tegas. “Debby mau sehat dan tidak makan terus.”

            Sambil melihat ibu yang pergi menjauh dengan riang gembira sehabis menjerit histeris dan memelukku, aku duduk dan termangu. Ya ampun, untunglah aku mengalami ini semua. Aku menyentuh pipiku yang segemuk tomat dan berat, aku menengok pada perutku yang buncit dan gempal, dan aku menatap lenganku yang berat bahkan untuk kuangkat sendiri. Mataku menangkap sebuah benda berdebu yang hadir di sudut mataku, terletak di bawah rak barangku. Aku masih terkejut mendengar langkahku yang berdebam-debam di lantai.

            Benda itu kutarik dari rak dan kuletakkan di lantai. Lalu aku menginjaknya dengan harap-harap cemas. Mataku terbuka segaris dan aku mengernyitkan dahi melihat angka yang tertera di atasnya. 83? Akan kubuat kau jauh lebih rendah mulai hari ini! Lets start with… how about 60?

            Aku siap memulainya, bahkan mulai detik ini! Terimakasih makhluk asing… ataukah harus kusebut.. Tuan Timbangan?

 

Ruth Hana C. Manurung

11.35 WITA, 18 Januari 2013

SAMARINDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar